ASAL MULA ORANG LEMBATA
ASAL MULA ORANG LEMBATA
.
Dulu Pulau Lembata bernama pulau Lomblen dan Pulau Kewula. Kedua nama ini
dijuluki oleh Belanda melalui politik dagangnya yaitu VOC ( Verenigde Oost
Indice Companny). Pulau ini pernah difoto oleh Belanda dan sampai sekarang foto
tersebut masih tersimpan di Kantor Camat Atadei (salah satu kecamataan di
Selatan Kabupaten Lembata). Dalam perjalanan sejarah pulau ini terus berubah
nama menjadi Lembata, nama ini diberi oleh Alm. Yan Kia Poli pada saat
diadakannya MUBESRATA (Musyawarah Besar Rakyat Lembata) pada tanggal 7
Maret 1976 di Lewoleba, dan kemudian diresmikan oleh mantan Gubernur Nusa
Tenggara Timur El Tari. Nama ini dipakai sampai sekarang.
Sebenarnya, lahirnya pulau Lembata
diperkirakan pada tahun 1400 ketika terjadi zaman Gletzer yaitu zaman dimana mencairnya
es di Kutub sehinga banyak pulau yang tenggelam dan kemudian penduduknya migran
ke berbagai daerah untuk mencari tempat tinggal yang baru. Dalam penuturan
sejarah dari Leo Boli Ladjar (alm), orang Lembata sebenarnya bermigran dari dua
pulau yaitu pulau Lapang dan pulau Batang yang terletak dibagian barat
Kabupaten Alor Lapang dan Batang ( dua pulau kosong tak berpenghuni) yang
terletak di bagian barat pulau Alor dan bagian timur ke utara dari pulau
Lembata. Lepanbata atau Lapang dan Batang menurut orang Alor adalah dua buah
pulau tak berpenghuni. Lapang artinya datar/rata seperti lapangan sedangkan
Batang artinya tinggi. Kedua pulau ini memiliki kekayaan alam yang tak akan
habisnya yaitu rumput laut yang kini menjadi primadona orang Alor.
Menurut Leo, ketika masyarakat ini
migran karena tenggelamnya sebahagian pulau Lapang dan Batang (air laut naik),
orang Lembata dalam penjelajahannya untuk mencari tempat baru sebagai tempat
tinggal, mereke menemukan pulau Lomblen/Kewula atau Lembata sekarang, yang merupakan
pulau yang baru muncul bersama pulau Kangge, Rusa dan Kambing, yang kini
menjadi wilayan pemerintahan Kabupaten Alor. Dalam perjalanannya dari pulau
Lapang dan Batang (Lepanbata) ke arah utara menelusuri laut mereka tinggal dan
menetap pertama kali di Wairiang, kemudian ke arah utara dan mendiami Edang Aya
Wei Laong di Ramu tempat yang terletak diantara Leo Hoeq, Atarodang dan Maramu
dekat Leuwayang.
Sesebagahgian lagi menelusuri
wilayah bagian selatan dan utara, mereka tiba pertama kali di Noni wilayah
Hobamatang Leuhapu yang kini telah berganti nama menjadi Mahal I dan Mahal II.
Mereka yang menetap disini kemudian mencari daerah yang lebih aman tapi subur,
lalu mereka menemukan tempat yang bernama Payong Koto Manu lalu pindah ke
Perung Peu Obu Hobamatang, yang kemudian menurunkan suku Odelwala, yang menetap
disana sampai sekarang. Sementara mereka yang meneruskan perjalanannya menuju
ke Wuyo Kape naik ke Balurebong dan menyebar ke barat dan menetap di wilayah
Atakowa dengan keturunannya sampai sekarang menyandang suku Kowa Lama Botung.
Mereka ini memiliki kebudayaan daerah yang cukup unik dan terkenal sampai
sekarang adalah BEKU.
Dari Wuyo Kape sebahagian lagi
berjalan menelusuri dan mencari wilayah yang labih aman dan subur, mereka
menuju ke wilayah Bobu sebahagian ke Lamatuka kemudian menurunkan suku Lajar,
Lazar dan Loyor di Ude Hadakewa. Yang lainnya mneruskan perjalannnya ke
Waiteba, lalu ke Watutena, Bota Harpuka dan Paugora (Panggorang menurut orang
Alor), dan sebahagian lagi menuju ke Tanjung Atadei wutun (sekarang menjadi
nama Kecamatan Atadei di Kab Lembata), terus ke Lamanunang. Mereka juga menetap
disini dengan memiliki kebudayaan yaitu ARE. Lalu ada yang ke Watuwawer menetap
dan memiliki kebudayaan yang disebut Ahar. Budaya ini mempunyai upacara yang
unik yaitu setiap bayi yang baru lahir entah laki atau perempuan wajib memasuki
rumah adat yang disebut dengan upacara Tule Ahar. Disana juga menetap suku Lera
Lama Dike (lejap), Koba Lama Wale (Koban dan Waleng) , Tuka Lama Roning (Tukan
dan Roning), Lajar Lamabua (lajar) disamping budaya adatnya yang cukup terkenal
yaitu Kolewalan.
Ada penduduk yang berjalan dan
melintasi pantai Waibura dan mendiami Pedalewu di Lewalang dekat gunung
Mauraja, Adowajo dan Petrus Gripe, Luhtobe dan Penutuk, lalu mereka mendaki ke
Lamaheku, ada yang ke Lewokoba (suku Hekur) lalu ada yang menuju ke Laba Lewu
di Namaweka lalu pindah ke Lite yang sekarang menurunkan suku Naya Hekur, Bala
Hekur. Sementara yang menguasai Lamaheku adalah suku Koli Lolon, Pukai Lolon dan
Lewogromang. Sementara mereka yang ke Mirek puken adalah penduduk Kayuaman dan
Atalajar (mereka ini yang keturunanya ada yang menetap di Kecamatan Pantar
barat Laut/pulau Kangge) yang tinggal di leher gunung Mauraja.
Sebahagian lagi berlayar dengan
perahu menuju ke Mulandoro sementara yang lainnya terus ke Labala. Yang turun
di Mulandoro terbagi dua yaitu ada yang menetap di Mulandoro yang kemudian
menurunkan penduduk Mulan Lama Gali, sedangkan yang lain berjalan mendaki ke
gunung menetap di Atawolo dengan penduduknya Atalaya Lew Nuban. Ada yang
menetap di Labala tetapi ada sebahagian penduduk menuju ke Smuki dan Snaki
terus ke Lewuka dan Udak. Disana ada suku Soriwutun yang sebenarnya bersaudara
dengan suku Laya Lama Bua atau Atalaya Soriwutun yang keturunannya juga
bersaudara dengan suku Lajar di Waiwejak (desa Nubahaeraka). Suku Atalaya
Soriwutun masih bersaudara juga dengan suku Atalaya Blikololon dan Loyor yang
mendiami desa Atalojo sekarang di Kecamatan Atadei.
Sementara itu pelarian yang lain
meneruskan perjalanan mereka ke Nuhalela, Lamalera dan Lamabaka dan menyebar ke
seluruh wilayah Lembata. Ketika tejadi peristiwa Awololon ( pulau di depan kota
Lewoleba) tenggelam, maka penduduknya menyebar ke Lembata, Adonara, Solor,
pulau Babi dan pulau Palue (Maumere), Wailamung dan Bogonatar (Perbatasan
Larantuka dengan Kabupaten Sikka).
Hubungan Suku-suku
Percaya atau tidak tetapi ada secuil
peristiwa yang dapat disarikan dari peristiwa pelarian orang Lembata dari
Lapang dan Batang. Ada sejumlah suku yang ketika migran mereka terlebih dahulu
membuat perjanjian untuk mengikat tali persaduaraan mereka. Perjanjian itu
adalah menggunakan kata LAMA dalam penamaan suku-suku yang di bawa oleh mereka.
Maka semua suku pada waktu itu sepakat untuk menggunakan kata LAMA
pada suku mereka. Dengan demikian maka semua suku migran dari Lapang dan Batang
menjadikan kata lama sebagai tali pengikat hubungan kekerabatan dan juga dapat
mencari saudara mereka yang lain. Ternyata ada suku di Lembata, Adonara dan
Solor menggunakan kata LAMA.
Suku – suku itu antara lain Ruman
Laba Bae, Likur Lama Koma, Wahen Lama Bera, Wayan Lama Holen, Lida Lama Loru,
Matan Lama Mangan, Kape Lama Bura, Witing Lama Hingan, Hapu Lama Boleng, Hoe
Lama Dike, Lera Lama Dike, Kowa Lama Botung, Nila Mani Tolo, Tolo Lama Ile,
Watun Lama Gute, Laya Lama Bua (Lajar, layar, Lazar, Loyor) Naki Uma Lama Dayo,
Koba Lama Waleng, Tuka Lama Roni, Wolo Lama Doro, Mulang Lama Gali, Ura Lama
Dayo, Bakan Lama Wala, Liwo Lama Rebong, Resa Lama Doro, Wuwur Lama Tangen,
Boleng Lama Hodung, Wutun Lama Doan, Lama Blawa, Lama Helan, Lamaheku, Lama
Ole, Lama Nepa, Lama Tonu Mata, .
Bukti sejarah
Sebagai seorang pelaku sejarah Leo Boli Ladjar (alm) (pensiun dan menatap di
kalikasa ) dipercayakan oleh Raja Labala Ibrahim Baha Mayeli, bersama Opas
Fransiskus Boli Kolin dari Lamaheku, Kecamatan Atadei, mengikuti rapat di
Hadakewa yang dipinpin oleh Yan Kia Polly. Pertemuan dilakukan di sebuah gedung
sederhana di Hadakewa untuk menyusun staregi perjuangan rakyat Lomblen yang
berawal dari statement 7 Maret 1954. Rapat dimulai sekitar pukul 14.00 atau jam
2 soreh. Pemimpin rapat Yan Kia Polly, sekretaris Polus Magun dari Lelalein.
Belau ini keluaran dari Makasar dan karena tulisannya juga bagus. Beliau
meliput rapat dengan menggunakan tulisan stenograf.
Dikisahkan Leo, yang memimpin rapat
adalah Yan Kia Polly dengan berpakaian baju hijau lengan pendek, dan ber ban
dipinggangnya sementara Opas Boli Kolin dan Leo Boli Ladjar (penutur sejarah
ini) duduk di sebelah selatan sedangkan pemimpin rapat di bagian timur.
Pemegang amanat rakyat Lomblen adalah Yan Kia Polly bukan orang lain. Selain
itu hadir Kepala Hamente Kedang Dia Sarabiti datang dengan mengendarai seekor
kuda jantan merah berkaki putih. Peserta rapat yang sempat saya kenal pada waktu
itu antara lain Yan Kia Polly, serta kepala kampung dan tua-tua yang hadir pada
waktu itu yang mendapat kepercayaan dari wilayah Paji dan Demong. Wilayah Paji
meliputi Labala, Kawela, Lewotolok dan Kedang, sementara wilayah Demong
meliputi Lewoleba dan hadakewa.
Wilayah Paji itu antara lain Hamente
Labala ibukotanya Labala dengan rajanya Ibrahim Baha Mayeli. Hamente Kawela
ibukota Belang dengan rajanya Kapitan Arap. Hamente Lewotolok dikepalai oleh
Kapitan Solang dengan ibukotanya Lewotolok. Hamente Kedang ibukotanya Kalikur
dengan kepala Hamentenya kapitan Dia Sarabiti. Sedangkan wilayah Demong
meliputi Lamalera ibukotanya Lamalera dengan Kepala hamentenya Kakang Bao dan
Hamente Lewoleba dengan ibukotanya Hadakewa yang dikepalai oleh Atahala Hadung.
**W A S S A L A M**