Hal-hal yang Tidak Boleh Terlintas dalam Fikiran
Keinginan adalah bagian dari kehidupan manusia.
Manusia selalu diliputi keinginan-keinginan dalam hidupnya. Ingin menjadi ini,
ingin menjadi itu, ingin begini, ingin begitu dan seterusnya. Semuanya itu
wajar. Keinginan yang buruk, jelas jangan diikuti. Tetapi, keinginan yang baik
pun harus hati-hati. Keinginan bila tidak diarahkan bisa menjerumuskan. Di
bawah ini adalah nasihat untuk kaum Muslimin, ada beberapa keinginan yang tidak
boleh terlintas dalam fikiran.
1. Ingin Hidup Bahagia
Apakah sesungguhnya kebahagiaan itu? Bagaimana
caranya manusia mendapatkan kebahagiaan? Apakah hidup bahagia itu sesuatu yang
harus diinginkan atau dilamunkan atau datang dengan sendirinya? Apakah bahagia
itu proses atau hasil? Yang harus diingat, kebahagiaan itu adalah produk.
Bahagia adalah hasil atau akibat dari cara hidup yang sehat: berfikir sehat
(positif dan lurus), berhati bersih, bertindak benar, bersikap wajar, pandai
mensyukuri nikmat dari apa pun yang dimiliki, taat menjalankan agama, tidak
memaksakan diri diluar kemampuan, tidak berbuat sesuatu diluar kewajaran, tidak
berangan-angan yang tidak perlu dst. Bila orang memiliki sikap itu semua, hidup
dijamin pasti bahagia. Yang harus terlintas dalam fikiran adalah berkeinginan
dan berjuang untuk berfikir sehat, hidup sehat, berfikir dan bertindak benar,
berbuat positif, mengamalkan ajaran agama dengan baik, hidup bersahaja,
seadanya, bersikap sewajarnya, tidak menginginkan yang bukan-bukan, dst.
Kebahagiaan adalah hasil atau akibat dari cara
hidup yang baik dan benar. Sebaliknya, ketidakbahagiaan, juga adalah akibat
dari cara hidup yang tidak sehat: berfikir tidak benar, bertindak salah,
bersikap tidak wajar, memaksakan diri, kurang ibadah, tidak sabar, jauh dari
Tuhan yang memberikan kebahagiaan dst. Bahagia itu akibat dari pola hidup bukan
sebab. Yang harus terlintas dalam fikiran adalah memperjuangan sebabnya bukan
hasilnya agar hidup kita sehat, baik dan benar. Bahagia akan datang dengan
sendirinya sebagai akibat logisnya. Jadi, kebahagiaan itu ada secara inherent dalam
cara hidup dan jiwa yang sehat. Sebaliknya, ketidakbahagiaan juga ada secara
inherent dalam cara hidup dan jiwa yang tidak sehat. Karena itulah,
kebahagaiaan itu jangan diinginkan dan dibayang-bayang. Diinginkan dan
dibayangkan dengan keras juga tidak akan datang bila kita tidak membuatnya diri
kita mampu menciptakan dan mendatangkan kebahagiaan.
Pertanyaan sederhananya, bagaimana akan bahagia bila cara hidup dan jiwa
seseorang tidak sehat? Bagaimana kebahagiaan akan datang bila cara berfikirnya
tidak sehat, tindakannya banyak salah, sikap dan perbuatannya tidak terpuji,
melanggar aturan-aturan, hidupnya tidak taat pada agama, tidak dekat kepada
Tuhan, keinginannya yang bukan-bukan, fikirannya dipenuhi angan-angan yang
melambung jauh diluar kemampuannya, dan sebagainya. Juga sebaliknya, bagaimana
orang tidak akan bahagia bila dalam hidupnya ia rajin beribadah, tidak
meninggalkan kewajiban agama, pandai mensyukuri nikmat, hidup menerima apa
adanya, tidak berangan–angan yang bukan-bukan, tidak menginginkan sesuatu
diluar kemampuan dirinya, dst.
2. Ingin Hidup Kaya
Sebagaimana kebahagiaan, kekayaan juga sama, ia
adalah hasil atau produk dari sebuah proses, akibat dari rangkaian
tindakan-tindakan. Kaya adalah buah dari kerja keras, disiplin, sikap hemat,
rajin berderma (infaq dan shadaqah), tidak boros, kemampuan mengelola ekonomi
dan do’a. Makanya, menjadi kaya tidak boleh menjadi cita-cita hidup. Yang harus
dilatih dan dibiasakan adalah bekerja keras. Yang harus menjadi cita-cita dan
terlintas dalam fikiran adalah hidup yang jujur, benar, hemat, dermawan dsb.
Kaya tidak ada hubungannya dengan kebenaran dan kebahagiaan, ia adalah akibat
dari kerja keras, kreativitas, hemat dan do’a. Biarlah kaya itu akibat saja
dari kerja keras kita. Bila menjadi kaya sering terlintas dalam fikiran dan
menjadi tujuan, maka kemungkinan, untuk mencapai kekayaan itu, seseorang bisa
melakukan apa saja menghalalkan segala cara, tak peduli halal haram, untuk
mencapai keinginannya, yang penting cepat kaya. Akibat kesalahan cara berfikir
ini juga, yaitu kekayaan sangat diinginkan, orang akhirnya akan menempuh
cara-cara instan yang tidak sehat, tidak wajar, tidak proporsional yang semua
itu dilarang oleh agama. Misalnya, berjudi, mengundi nasib, bersaing tidak
sehat, bersikap rakus, datang ke dukun, investasi dengan keuntungan yang tidak
rasional, dan sebagainya yang semua itu bisa mendatangkan kerugian, kecelakaan
diri dan menjerumuskan ke jurang kenistaan.
3. Ingin Hidup Berkuasa
Kekuasaan juga semestinya adalah produk dan
kepercayaan bukan keinginan yang dikejar–kejar. Kalau kekuasaan didapatkan
sebagai produk kepercayaan maka Insya Allah akan ringan menanggungnya.
Sebaliknya, bila diinginkan akan berat tanggungjawabnya sebagai amanat. Tentang
ini Rasulullah s.a.w berpesan kepada sahabatnya Abdur Rahman: ”Wahai Abdur
Rahman, janganlah kamu melamar memohon menjadi pejabat. Sesungguhnya, bagimu
jika diberikan jabatan dengan cara memohon maka itu akan menjadi tanggung
jawab. Dan jika diberikan jabatan itu tanpa dimintanya, maka itu akan lebih
ringan bagimu.” (HR. Muslim). Tapi orang umumnya mengejar–ngejar kekuasaan
karena dalam kekuasaan orang mengidam–idamkan fasilitas, kemudahan, kekayaan
harta benda, pengaruh, penghormatan orang dan sebagainya. Ini cara berfikir
yang tidak sehat, jiwa yang sakit dan logika yang salah. Karena salah, maka
orang yang mengharapkannya tidak akan mendapatkan itu semua dari kekuasaannya.
Kalaupun mendapatkannya, hanya sebentar, semu dan akhirnya akan celaka. Yang
diharapkannya malah sebaliknya. Tetapi, selama orang tidak mau berfikir,
merenung dan introspeksi (muhasabah), apa pun yang dirasakannya tetap saja
tidak menjadi pelajaran baginya. Harapan yang terbalik ini tidak akan
menghentikannya dari berfikir tidak sehat dan salah, semuanya dianggap
biasa-biasa saja.
Kekuasaan yang diinginkan apalagi dengan
dikejar-kejar dengan melakukan apapun demi mendapatkannya, pasti akan
membawanya kepada jurang kenistaan. Kenistaan ini sering dalam
kenyataan-kenyataan yang tidak terasa: citranya semakin buruk ketika berkuasa,
keburukan-keburukannya jadi terbongkar, terbuka dan diketahui orang banyak,
orang-orang kecil atau bawahannya mengutuknya karena bersikap tidak adil dan
dianggap tidak memperhatikan mereka, kualitas ruhani dan sikap mentalnya yang
buruk semakin ketahuan ketika berkuasa karena misalnya menjilat, memberi hormat
yang tidak perlu dan berlebihan pada atasannya, penghormatan diberikan bukan
atas dasar kebenaran, akhlak mulia, keadilan dan kejujuran melainkan karena
takut tidak terpakai, karena takut dicopot dari jabatannya dan sebagainya.
Kekuasaan mestinya adalah produk bukan keinginan.
Produk dari apa? Produk dari jiwa kepemimpinan, ide-ide yang cerdas dan
visioner, kemampuan manajerial yang handal, kemampuan berpolitik yang bersih
dan cantik, kejujuran, sikap yang santun, keterbukaan, kemampuan memecahkan
masalah, kemampuan memperhatikan orang kecil, memperjuangkan nasib orang
banyak, dan sebagainya. Bila orang memiliki itu semua, maka kekuasaan pasti
akan didapatkannya, tanpa mesti dikejar–kejar. Kenyataannya bahwa kekuasaan itu
dikejar–kejar, karena jelas, kemampuan tidak ada, modal untuk dipercaya orang
tidak punya, akhirnya kekuasaan itu dikejar untuk kepentingan diri, kelompok,
nafsu, kekayaan dan sebagainya. Kemudian, karena lingkungan politik yang kotor,
akhirnya mereka yang mengejar–ngejar itulah yang justru berkuasa dan
orang-orang yang bersih dan jujur, tidak ambisi, tersingkir menjadi orang yang
dipimpin.
4. Ingin Hidup Bersih dari Dosa
Manusia adalah makhluk yang tidak terlepas dari
salah, khilaf dan dosa. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kesalahan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Al-Zalzalah:
8-10). Rasulullah s.a.w mengatakan: “Al–insânu ‘ala al-khaththa” (manusia
adalah tempatnya salah). Tapi, selain salah dan dosa, manusia ada banyak sisi
baiknya. Dalam kebaikan dan takwanya, manusia juga tidak terlepas dari berbuat
salah dan dosa. Dengan demikian, salah dan dosa menjadi ciri kemanusiaan itu
sendiri. Bersih dan suci dari dosa adalah sesuatu yang tidak mungkin karena
manusia bukan malaikat. Yang dianjurkan dalam agama bukan bersih dari dosa,
melainkan ketika berbuat salah dan dosa segera instrospeksi kemudian istighfar
dan bertaubat. Kalaupun ingin bersih dan suci harus melalui proses penyucian
(taubatan nasuha) bukan lewat “tidak pernah.” Karena bersih dari dosa adalah
tidak manusiawi dan tidak mungkin, maka berangan-angan untuk bersih dari salah
dan dosa adalah perbuatan yang sia-sia. Seorang Muslim yang baik harus
meninggalkan perbuatan yang sia-sia. Seorang Muslim yang baik bukan mereka yang
tidak pernah berbuat salah dan dosa, melainkan segera introspeksi dan bertaubat
di setiap melakukan kesalahannnya.
Allah dalam Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa Dia
sangat Maha Pengampun. Sebesar apapun dosa kita, ampunan dan ridha Allah tetap
lebih besar. Itulah Tuhan yang sebenarnya. “Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan
mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal
di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Ali
Imran: 133–136). Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah s.a.w bersabda: “Semua dosa
kemungkinan akan diampuni oleh Allah, kecuali orang yang mati kafir dan
membunuh orang mukmin dengan sengaja” (HR Nasa’i). “Ketika Allah menciptakan
makhluk-Nya, Dia telah menulis dalam kitab catatan disisi–Nya di atas Arsy:
‘Inna rahmatî ghalabat ghadhabî’ (Sesungguhnya rahmat–Ku mendahului murka–Ku).”
(HR. Muslim).
5. Ingin Hidup Serba Bisa
Hidup serba bisa adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi manusia. Tidak
ada manusia yang hidupnya serba bisa. Membayangkan kita menjadi manusia serba
bisa adalah perbuatan sia-sia yang tidak ada manfaatnya.